Punah, Bahasa Asli Port Numbay
JUBI—Kota Jayapura tak terlepas dari penduduk asli Port Numbay yang terdiri dari warga Kajoe Batu, Kajoe Pulau, Tobati, Injros, Ormu dan warga di Kampung Skouw di Distrik Muaratami.
Dominasi budaya mayoritas terhadap minoritas, mengakibatkan dalam tiga generasi warga Port Numbay, bahasa asli mereka punah.
Salah satu yang paling menonjol adalah kontak dengan warga pendatang hingga akhirnya menikah atau perkawinan di luar warga setempat. Akibatnya komunikasi dengan bahasa lokal makin terbatas dan hanya menggunakan bahasa Melayu atau sekarang Bahasa Indonesia.
Herman Rumadi Hamadi, 68 tahun kepala suku besar kampung Tobati hanya tersenyum getir. “Saat ini mungkin hanya tersisa 6 orang yang menguasai bahasa Tobati dengan baik, sisanya hanya berbicara bahasa Tobati sehari-hari, sedangkan anak-anak muda sudah tidak berbicara lagi,” ujarnya. Usia keenam orang ini juga sudah tidak muda lagi, rata-rata diatas enam puluh tahun. Menurutnya, jika mereka berenam mati, maka bahasa ini akan hilang bersama mereka, karena hingga saat ini bahasa Tobati belum pernah di dokumentasikan sama sekali.
Tahun-tahun terakhir ini Hamadi mengaku sudah jarang bertutur menggunakan bahasa leluhurnya itu. Sebab walaupun kampung Tobati tetap eksklusif dari suku lain, namun sebagian besar masyarakat Tobati tinggal di Kota Jayapura. “Dahulu setengah Kota Jayapura hingga setengah Kota Abepura adalah Tanah ulayat kami.Tapi kebun dan dusun sagu kami sekarang sudah berubah menjadi kota ini. Kamipun tinggal bersama para pendatang,” jelas Ondoafi yang tinggal di kawasan Entrop Jayapura. Mau tak mau bahasa sehari-hari yang mereka gunakan adalah Bahasa Indonesia. Sisanya, setengah Kota Jayapura adalah milik warga suku Kayu Pulau dan setengah Kota Abepura adalah milik masyarakat Nafri. Kebudayaan kedua suku ini juga terjepit diantara pembangunan, Bahasa merekapun makin berkurang penuturnya.
Menurutnya, interaksi masyarakat Tobati dengan dunia luar sudah berlangsung sebelum tahun 1600-an. Yang tercatat, pada akhir tahun 1800-an pemerintah Belanda sudah menjadikan kampung ini sebagai pusat pemerintahan, dan sejak saat itu perubahan terjadi sangat cepat di kampungnya. Sambil menunjukkan foto-foto bertahun 1903 hasil repro dari buku berbahasa Belanda, Hamadi menjelaskan, sejak kecil ia sudah mempergunakan bahasa Melayu sebagai alat komunikasi sehari-hari. Hingga kedatangan Indonesia, penggunaan bahasa Melayu makin mendominasi dalam kehidupan masyarakatnya. Proses Pembauran yang cepat karena banyaknya pendatang yang masuk ke Kota Jayapura, kawin campur antar suku di Papua maupun suku dari luar Papua dengan anak-anak Tobati serta budaya Tobati yang terbuka turut mempercepat hilangnya bahasa Tobati. “Cucu-cucu menggunakan bahasa ibu mereka, mereka seperti akar yang tercabut karena walau mereka anak Tobati tapi mereka tidak bisa berbicara sedikitpun bahasa Tobati. Bagaimana bisa melakukan adat kebiasaan, tarian dan budaya lainnya yang dilakukan dalam bahasa Tobati,” ujar Ayah sepuluh orang anak yang mengaku cukup keras mendidik anak anaknya untuk tetap berbahasa Tobati. Akhirnya lagu-lagu, syair, ratapan, tarian asli kampung ini tak pernah dipertontonkan lagi. Jika selama ini masyarakat Jayapura melihat tari-tarian Tobati ditarikan dalam festival, menurutnya itu bukan asli Tobati lagi, melainkan berasal dari negara tetangga Papua New Guinea atau tarian kontemporer hasil seniman lokal Tobati.
Hal ini sungguh menjadi kecemasannya. “Kalau bahasa Tobati hilang, maka budaya dan kebudayaan kami hilang. Kami menjadi pendatang di tanah kami sendiri,” ujar Hamadi. Yang dimaksudkan Hamadi kebudayaan yang hilang bersama bahasa adalah lagu-lagu, tari-tarian, adat kebiasaan, dan keseluruhan dari kebudayaan suku ini.
“Nyatanya kebudayaan kami sudah banyak yang hilang. Cucu cucu sudah tidak bisa menyanyi dan menarikan Tarian Serme, tarian untuk menjemput orang yang pulang mencari ikan, atau lagu dan Tarian Yawo, tarian yang dinyanyikan bila masyarakat memikul perahu baru dari hutan, karena budaya seperti ini tidak dilakukan lagi,” katanya. Anak cucunya saat ini memilih menjadi PNS atau karyawan swasta ketimbang nelayan. Hutan tempat dimana perahu dibuatpun sudah berubah menjadi kota, dan tradisi itu tidak pernah dilakukan lagi.
Benda-benda dan tari-tarian yang mengandung unsur magis, sudah hilang terlebih dahulu hilang bersamaan dengan masuknya injil di Tanah Papua ini. “Hal-hal yang berbau magis atau kepercayaan kepada pencipta dan leluhur sudah dibakar pada saat injil masuk. Digantikan lagu-lagu daerah, mazmur dan lagu gereja berbahasa Melayu, bahasa daerah tergantikan secara perlahan-lahan,” katanya.
Masih tersisa harapan Herman Hamadi pada pemerintah, sebab saat ini masih tersisa enam orang yang paham betul dengan bahasa Tobati mulai dari tingkatan tertinggi (bahasa yang dipergunakan anak kepada orangtua) hingga tinggkatan terendah (bahasa sehari-hari). “Kalau pemerintah dapat membantu ongkos transportasi dan tempat pelatihan, kami sangat ingin mengajarkan bahasa ini kepada generasi muda, dengan begitu ia tidak hilang tanpa bekas,”ujarnya. Sebab saat ini sebagian besar masyarakat Tobati tinggal di Kota Jayapura dan terpencar-pencar. Untuk itu dibutuhkan tempat yang mudah dijangkau para generasi muda yang ingin belajar ini.
Hal yang sama juga dirasakan Aksamina Awinero, 41 tahun sebagai anak Ondoafi Obed Awinero, di kampung Nafri, ia fasih berbahasa Nafri. Demikian juga suaminya yang juga anak Ondoafi Nafri. Sehari-hari komunikasi dengan anak-anak juga menggunakan bahasa Nafri. “Waktu kecil semua anak bisa bicara bahasa Nafri, tapi sejak mereka sekolah, mereka bicara bahasa Indonesia dan sekarang mengerti saja, tidak bisa bicara lagi. Kalaupun bisa hanya menjawab satu dua kata. Untuk membuat kalimat sudah berat,” ujar Ibu tujuh orang anak ini. Memang sejak sekolah dasar kelima anaknya bersekolah di luar kampung Nafri, tapi ia tidak bisa memperkirakan apa penyebabnya karena secara bersamaan bahasa sehari hari masyarakat kampung juga berganti menjadi bahasa Indonesia.
Data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Irian Jaya (kini Dinas Pendidikan dan Pengajaran Papua) Tahun 1991 menjelaskan penutur tiga bahasa di lima kampung di kawasan Teluk Kota Humbolt , Jayapura sudah sangat rendah. Data itu menjelaskan bahwa 16 tahun lalu penutur bahasa Tobati yang digunakan masyarakat dari dua kampung yaitu Kampung Tobati dan Kampung Injros yang merupakan dua pulau kecil di teluk Yotefa, dalam kawasan teluk Humbolt itu hanya tersisa 800 penutur, Bahasa Nafri yang berasal dari kampung Nafri di teluk Yoteta kawasan Teluk Humbolt tersisa 1630 penutur dan penutur bahasa Kayu pulau yang digunakan masyarakat di dua kampung yaitu kampung kayu pulau-Kayu Batu tepat di depan Kota Jayapura ini hanya tersisa 573 penutur. Wajar sekali jika 16 tahun kemudian data ini semakin merosot tajam bahkan hilang sama sekali.
Data jumlah bahasa yang berarti banyaknya suku yang ada di Papua sekitar 200-an. Data Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kantor Wilayah Provinsi Irian Jaya (kini Dinas P dan P Papua), 1991. Jumlah bahasa di Provinsi Irian Jaya sebanyak 249 bahasa, sedangkan menurut data Summer International of Linguistics (SIL) tahun 2004 banyaknya bahasa di Papua sekitar 264 bahasa. Bahasa Melayu yang selanjutnya lebih dikenal dengan bahasa Indonesia kemudian menjadi jembatan untuk mempertemukan ratusan bahasa daerah seluruh suku di Papua. Mereka akhirnya dapat saling berkomunikasi, berinteraksi yang akhirnya terjadi perkawinan campur antar suku di Papua maupun antar orang Papua dan suku-suku lain yang berasal dari luar pulau Papua.
Dalam Tiga Generasi Punah
Saat ini perkembangan Bahasa Indonesia di Papua sungguh sangat menggemberikan karena berkembang sangat pesat hingga ke pelosok-pelosok pedesaan, akibatnya di beberapa tempat bahasa daerah terdesak, kalah dengan bahasa Indonesia. “Hal ini sangat menguntungkan bagi perkembangan bahasa Indonesia sendiri, namun disisi lain juga menjadi ancaman bagi bahasa daerah. Hal ini sangat kontroversial dan dapat dilihat terutama di daerah-daerah di pinggiran kota yang interaksi dengan masyarakat luar sangat intensif,” ujar Kepala Bahasa Jayapura, Supriyanto Widodo. Menurutnya, Karena intensifnya penggunaan bahasa indonesia, bahasa daerah lama kelamaan ditinggalkan.
Hasil penelitian balai bahasa Tahun 2005 dan 2006 untuk 3 bahasa daerah, Tobati-Injros, Kayu Pulau-Kayu batu dan Nafri sungguh sangat memprihatinkan. “Kami memprediksi dalam tiga generasi ketiga bahasa daerah ini akan punah bila keadaannya tetap seperti ini dan tidak ada usaha-usaha dari masyarakatnya maupun pemerintah untuk mempertahankannya,” katanya. Sebab dari data responden yang aktif menggunakan bahasa daerahnya hanya mereka yang berumur diatas 40 tahun, sedangkan generasi yang lebih muda hanya mengerti dan tidak bisa menggunakannya secara aktif seperti berbicara dengan baik dan benar.
Jika satu generasi diperkirakan 20 tahun, maka dalam waktu 60 tahun bahasa bahasa ini sudah tidak dapat terdengar lagi. Penyebabnya karena sikap masyarakat tehadap bahasa daerahnya sangat rendah, sebab jika sikapnya terhadap bahasa daerahnya itu tinggi tentu tentu ia akan mengekspresikannya, jika tidak maka penutur bahasa itu semakin hari semakin berkurang, “Yang sangat memprihatinkan, justru bahasa daerah Nafri. Penutur bahasa terendah justru terjadi pada kaum perempuannya. Ini sangat disayangkan karena ibu merupakan ujung tombak pengajar bahasa daerah kepada generasi penerus, dan itu sebabnya mengapa bahasa daerah disebut bahasa ibu,” katanya.
Penyebabnya lainnya, karena bahasa daerah dianggap sebagai penghambat interaksi dengan masyarak luar. “Masyarakat merasa menggunakan bahasa daerah mengakibatkan akses ke ilmu pengetahuan, tingkat sosial dan perekonomian tidak berjalan baik. Sehingga banyak yang berpikir untuk apa menggunakan bahasa daerah jika tidak ada untungnya,” kata Widodo.
Untuk itu agar bahasa daerah dapat terjaga, salah satu caranya adalah harus ada pembagian fungsi penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa daerah dalam kehidupan sehari-hari. (Anggel Flassy)
Sumber : tabloidjubi 31 Juni 2008
0 komentar:
Posting Komentar